Model kemanusian yang coba kita implementasikan dalam dunia politik
sebagai gagasan segar untuk keluar dari mainstream
politik kerap dipandang dengan stigma-stigma negative adalah sebuah hasil
perenungan panjang, ijtihad, dan pembaharuan setelah membaca berbagai dinamika
politik dan kemanusian dalam beberapa decade terakhir yang tampaknya beradu
posisi secara vis a vis. Tak bisa
dipungkiri jika tafsir tentang kemanusian kerap kali kandas dalam
pengertian-pengertian bahwa ia keluar dari struktur kekuasaan sehingga bekerja
sebagai lembaga-lembaga independen yang memiliki organisasi tersendiri dan tak
dapat diintervensi oleh Negara.
Pandangan ini melempar kesadaran kemanusian kita untuk keluar menjauh
dari pusaran kebijakan yang semestinya menjadi sahabat karib, bahkan terjalin
koneksi secara berkelanjutan. Sebagai penyelelenggara produk-produk hukum dan
politik, Negara mestinya terlibat aktif dalam proyek-proyek kemanusian. Dalam pengertian
luas, Negara menjamin bagaimana seorang warga bias terpenuhi hak-hak dasarnya,
bahkan tanpa harus bekerja memeras keringat.
Secara fungsional, Negara berada pada titik aktivasi yang mengoneksikan
setiap penduduk dengan potensi-potensi yang ada di sekelilingnya sehingga
keberdayagunaan menjadi gelombang kesadaran yang integral dalam proses
pembangunan, baik yang sifatnya fisik ( tangible
development) maupun yang sifatnya nonfisik ( intangible development).
Jalan terjal politik Indonesia dalam konteks kemanusian adalah melakukan
rehumanisasi setelah sekian lama terjerat pada dehumanisasi, yang dalam
pandangan Thomas Hobbes diesbut sebagai Selfish,
yaitu melakukan apa saja atas manusia lain dan Negara demi memenuhi hasrat dan
kepentingannya sendiri. Karakter utama manusia Selfish ini adalah mengeploitasi manusia lain sebagai komoditas.
Jika di era kekuasaan yang sentralistis, manusia sama sekali tidak
memiliki harga sebab bias ditekan dengan kekuasaan (power), dalam ranah politik demokratis, manusia dihitung sebagai
satu suara yang dengan mudah dibeli untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Para penganut
selfish ini adalah orang-orang yang
menyukai arak-arakan, festivalisasi, pawai, demontrasi, dan berbagai
pertunjukan yang bermaksud meneguhkan deklarasi dirinya sebagai pemegang
kendali pusat kekuasaan dan segenap dinamika di tengah-tengah masyarakat.
Euforia tentang kemerdekaan politik setiap warga yang kemudian diartikulasikan melalui berbagai pesta
demokrasi dari level daerah hingga ke tingkat pusat, dialog-dialog yang
diinisiasi oleh civil society, upaya
harmonisasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan, internalisasi
humanity value pada kelas-kelas kebudayaan di lembaga-lembaga pendidikan, serta
berbagai macam bentuk formatifatif yang berupaya mengislah dan mencipatakan
kohesivitas kemanusian. Semua ini momentum penting dalam menciptakan era
kemanusiaan yang baru di masa depan.
Proses ini tentu saja bukan sebuah jalan instan untuk mewujudkan apa
yang kita imajinasikan bersama sesuai dengan cita-cita bangsa dan harapan
segenap warga negar, yaitu kemanusian yang adil dan berada, tang dalam konteks
politik meletakan hak-hak warga secara aktif menggunakan segenap potensi mereka
untuk berperan lebih luas. Penjelmaan cita-cita kemanusian yang dalam perjalanan
sejarahnya tak mampu berdiri tegak adalah sebuah penanda bahwa harus ada format
baru dalam mendorong lahirnya gelombang politik kemanusiaan.
Model-model kemanusiaan berdasarkan utilitarian, komunitarian
(sosialisme), ploletarian (komunisme), libertarian (demokrasi liberal), dan
egalitarian yang selama ini telah digunakan sebagai wadah kemanusiaan oleh berbagai bangsa, (Yusraf Amir pialang
dalam bukunya Hantu-Hanut Politik dan Matinya Sosial (2003)), kenyataannya
memiliki kelemahan masing-masing. Dalam praktiknya di berbagai Negara, yang
bahkan mengklaim diri paling maju dan demokratis sekalipun, acap kali diwarnai
oleh sifat-sifat inhuman.
Oleh karena itu, alternative solutif model kemanusiaan yang berdasarkan
prinsip-prinsip keagamaan mungkin bias jadi pilihan yang tepat. Sebab, menilik
ajaean-ajaran agama, khususnya agama islam, salah saut tujuan kehadiran
syariatnya adalah untuk menjaga kemanusian seperti ditulis oleh Imam asy-Syatibi di dalam Al-Muwafaqat. Salah satu yang
dicontohkna Asy-Syatibi adalah penjagaan harta agar tidak diambil dari dan/atas
digunakan untuk jalan yang batil. Ini contoh kecil bagaimana syariat agama
muncul puluhan abad yang lalu menukik dalam kehidupan masyarakat yang baru di
era ini betul-betul kita rasakan bahayanya. Seperti perilaku korup yang kian
merajalela karena tidak dihiraukannya lagi bersumber dari mana (halal/tidak)
dan kemana harta itu mengalir.
Tujuan-tujuan syariat mengandung semua hal yang diperlukan umat manusia
dalam merealisasikan falaah dan hayatan thayiban. Imam Al-Ghazali
memasukan semua perkara yang enting untuk melindungi dan memperkaya keimanan,
kehidupan, akal, keturunan, dan hartabenda dalam maqaashid. Dengan sangat
bijaksana beliau meletakkan iman dalam rutan pertama daftar maqaashid. Karena dalam
presfaektif islam, iman adalah inti yang sangat penting bagi kebahagiaan
manusia.
Imanlah yang meletakan hubungan–hubungan kemanusian pada fondasi yang benar,
memungkinkan umat manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan seimbang
dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama. Iman, kata Umer
Chapra (2000) melanjutkan penjelasan Al-Ghazali, adalah juga merupakan filter
moral yang sangat kuat untuk mewujudkan keadilan.
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menyebutkan beberapa kata syariat salah
satunya sebagai mana yangterdapat dalam surah Al-Jaatsiyah ayt 18, “ kemudian
kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsuorang yang
tidak mengetahui.”
Lantas bagaimana upaya mengawinkan politik, kemanusian dan ajaran-ajaran
agamadalam satu alunan harmonisasi irama? Pertanyaan inilah yang coba kita
jawab dengan mengetengahkan fakta-fakta empiris sejarah politik islam ketika
kepemimpinan dipegang oleh pemimpin adil seperti kebersahajaan Umar bin Khatab,
Umar bin Abdul Aziz, serta yang terdekat dengan kita di Indonesia, Sultan Malik
Azh-Zhahir dari kerajaan Samudra Pasai.