Istilah
perantau mungkin bukan sesuatu asing lagi bagi kita, di mana defenisi secara
umum yakni mereka yang meninggalkan kampung halamannya. Namun kata ini lebih
umum digunakan untuk mereka bekerja ke luar negeri.
Ketika
pulang ke Raha kemarin, saya bertemu dengan rombongan perantau dari negeri
Malaysia. Memang awalnya saya sudah diberitahu kalau banyak perantau
(asal Raha) yang Pulkam (pulang kampung) nanti. Dan salah satu dari mereka
adalah bibi saya yang sudah beberapa tahun kerja disana.
Untuk
balik ke Raha, saya naik kapal Pelni (Makassar-Bau-Bau) terus menyebrang ke
lagi Raha menggunakan speed Boat. Kapalnya yang rencana saya tumpangi ternyata
telat datang. Berdasarkan jadwal, seharusnya sudah meninggalkan Makassar pukul
23.00 tadi namun kanyataaan kapal tersebut baru berlabu pukul 00.00 wita.
Sambil
menanti waktu sahur saya ngobrol-ngobrol dengan seorang perantau (masih ada
hubungan keluarga dengan saya).
Perantau : sudah selesai kuliahnya?
Saya : Alhamdulillah sudah, bulan 6
kemarin.
Perantau : syukurlah. Gimana dengan sepupu kamu?
Saya : Alhamdulillah dia sudah lulus di
salah perguruan tinggi swasta, selanjutnya tinggal menunggu kuliah perdana
yakni bulan September nanti. Sedangkan untuk di Unhas pengumumannya nanti 16
juli.
Perantau : oh, syukurlah. Kadang saya agak merasa
miris melihat mahasiswa akhir-akhir ini. Tahun lalu, sebelum saya berangkat ke
Malaysia sempat bertemu dengan mahasiswa yang berasal dari kampung saya.
Attitudenya tidak menunjukan sebagai seorang mahasiswa. Sebenarnya yang harus
dibenahi generasi muda saat ini yakni mengenai agamanya. Ketika agama mereka
kuat, saya yakin segala sesuatu akan baik pula apalagi mengenai perkuliahan
pasti bisa berjalan lancar.
Saya : iya.
Perantau : menjadi
seorang perantau tidak enak. Harus Jauh dari keluarga, merasa nyaman di negeri
orang itu sulit. Apalagi bagi mereka yang meninggalkan anak-anak
yang masih kecil di kampung halaman, termasuk saya. Berat rasanya.
Perantau
ini memiliki tiga orang anak di mana anak pertamanya udah duduk di bangku SMA
sedangkan yang ke-2 di bangku SMP sedangkan yang satunya belum sekolah. Dia
begitu sayang pada anak-anaknya mungkin karena sering dia tinggalkan
(merantau). Dia juga berharap bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga di bangku
perkuliahan sehingga bisa bekerja di negeri sendiri. “Cukuplah kami-kami ini
pelaku sebagai perantau. Semoga anak-anakku bisa memutuskan tradisi dari
kelurga kami yang umumnya putus sekolah dan akhirnya harus beralih sebagai
perantau”, tuturnya.
Saya
merasa bersyukur, orang tua saya bukan seorang perantau. Dan bisa menyekolahkan
saya hingga dibangku perkuliahan. Dan bisa jadi, kalau orang tua saya sebai
seorang perantau mungkin tidak seperti sekarang ini.
Satu
hal lagi saya tangkap dari perbincanganku kali itu, bagi meraka yang orang tuanya sebagai perantau mungkin bisa sadar-sadar
diri. Maksudnya jika kita sekolah, maka sekolahlah sebaik mungkin. Raihlah
prestasi setinggi mungkin agar bisa membanggakan mereka. Orang tua bekerja
keras di negeri orang untuk bisa menyekolahkanmu hingga ke bangku kuliah. Jika engkau gagal maka pupuslah harapan
mereka. Dan satu hal lagi yang perlu kita ketahui bahwa gimana
jika ada peraturan yang melarang warga Indonesia bekerja ke luarga negeri
(Malaysia)? Kemungkinan, akan menyulitkan mereka para perantau untuk bisa
menyekolahkan anak mereka. Yang mana merantau merupakan satu-satunya sumber
penghasilan yang menjanjikan untuk saat ini (pendapat mereka).
ooO Safaruddin Iyando Ooo