Pemberian gelar untuk bangsawan tiap daerah tentunya berbeda-beda. Apalagi
kita ketahui bangsa indonesia memiliki begitu banyak suku dari Sabang hingga Merauke.
Begitu pula halnya dengan suku Buton Muna terdapat jenis-jenis pemberian gelar
bangsawan (Niampe, 2014) yakni:
Pertama, pemberian gelar kehormatan berdasarkan jabatan yang
sedang dipangkunya yang biasanya diikati oleh nama tempat di mana ia menjabat dan
juga biasanya diikuti keterangan lain yang bersifat khusus. Misalnya:
Nama Jabatan
|
Tempat/negeri
|
Gelar
|
Raja
|
Batauga
|
Raja Batauga
|
Sapati
|
Kalanda
|
Sapati Kalanda
|
Kapitan
|
lahontohe
|
Kapitan lahontohe
|
Kedua, pemberian gelar kehormatan yang diikuti oleh keterangan
yang bersifat khusus seperti:
Imamuna bawine à imam
perempuan
Ketiga, pemberian gelar berdasarkan peristiwa yang dialami
sementara masih dalam masa jabatan. Beberapa gelar yang dimaksudkan seperti: Gogoli Liwuto, Moposuruno Arataana, Mosabuna
dan Moboli Pauna serta Mopagaana pauna. Gelar Gogoli i-liwuto diberikan kepada sultan
Mardhan ali di mana sultan ali melanggar hukum kerajaan yaitu terbukti
mengganggu istri orang. Ia dikenakan hukuman gantung (gogoli) sesuai berat
kesalahannya. Hukuman dilakukan pada sebua pulau (Liwuto) yang disebut dengan
pulau Makassar.
Gelar Mobolina pauna diberikan
kepada Sultan La Elalangi. Maksudnya meninggalkan payung kerajaan karena wafat.
Sedangkan gelar Mopogaana Pauna
diberikan kepada Sultan Saparigau yang berarti meninggalkan jabatan sultan atas
permintaan sendiri.
Keempat, pemberian gelar setelah selesai masa jabatannya baik
dalam pemerintahan maupun jabatan keagamaan. Gelar ini disebut Yaro. Kata yaro
tersebut biasanya diikuti oleh nama-nama tempat di mana ia pernah berkuasa atau
diikuti oleh jabatan yang dipangkunya. Misalnya, Yarona Tobe-Tobe (Mantan
kepala negeri Tobe-tobe), Yarona Takimpo (Mantan kepala negeri Takimpo). Atau
contoh lain yang dapat ditemukan sekarang yakni jabatan kepala desa seperti Yaro Labasa (Mantan kepala desa Labasa).
Kelima, pemberian gelar berdasarkan kharismatik yang
dimilikinya. Ia dianggap sebagai orang yang memiliki kesaktian. Gelar ini
disebut Sangia. Pemakian gelar Sangia
biasanya diikuti oleh tempat atau negeri yang didiaminya serta nama orangnya.
Misal, Sangia i-Lampenana La Faajara
namanya, Sangia i-Gundu-gundu La
Kandawa namanya.
Keenam, pemberian gelar kepada seorang istri yang ditinggal mati
oleh suaminya yang sementara dalam masa jabatan. Gelar ini disebut Balu. Pemakaian gelar ini biasanya
diikuti oleh nama negeri tempat suaminya menjabat atas nama jabatan suaminya.
Misalnya, yang diikuti nama negeri, Baluna
Koroni, Baluna Kamaru, Baluna Wuna. Adapun yang diikuti nama jabatan: baluna kapitalao, baluna kenepulu
Ketujuh, pemberian nama gelar berdasarkan kondisi kehidupan
masyarakat yang dipimpinnya. Misalnya, Sultan Buton bernama La Sangaji digelar
sultan Makengkuna. Makengkuna berarti kering di mana masa
pemerintahannya daerah Buton mengalami kekeringan.
Kedelapan, pemberian gelar
berdasarkan kategori perbedaan status sebagai orang tua dan sebagai anak. Gelar
ini diberikan kepada sultan La Ampi sebagai ayah dan sultan La Badaru sebagai
anak. Sultan La Ampi diberi gelar “Oputa Lakina
Agama Mancuana” sedangkan Sultan La Badaru diberi gelar “Oputa Lakina Agama ana”
Kesembilan, pemberian gelar berdasarkan status kepemilikan negeri
yang ditinggalinya. Gelar ini ditandai dengan pembubuhan imbuhan ko-na pada
kata yang menunjukan nama tempat atau negeri. Misalnya:
Ko-na + Wawoangi
|
Kowawoangina
|
Pemilik Wawoangi
|
Ko-na + Kaluku
|
Kokalukuna
|
Pemilik Kaluku
|
Ko-na Bangkudu
|
kobangkudunga
|
Pemilik Bangkudu
|
Referensi: Laniampa, 2014. Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton – Muna,
Mujahid press.
ooO Safaruddin Iyando Ooo