|
Akhir-akhir ini berita
mengenai korban kekerasan di Rohingnya menjadi tranding topic. Banyak
Lembaga
social melakukan aksi untuk membatu korban Rohingnya. Pasalnya saat ini mereka
terobang ambing dilautan untuk bisa menyelamatkan diri dari kekerasan yang
terjadi di negaranya yakni Nyanmar. Barharap mendapatkan suaka dari
Negara-negara tetangga sehingga bisa melanjutkan hidup manjadi harapan
satu-satunya.
Sedikit
penjelasan apa sebenar Rohingnya? Dan kenapa mereka harus lari meninggalkan
negaranya?
Seperti
terlansir dalam tulisan berikut http://www.voa-islam.com/read/pers-rilis/2015/05/18/37038/akar-masalah-rohingya-ada-di-myanmar/#sthash.k5m7NpJi.dpbs
Konflik yang sudah terjadi sejak puluhan tahun itu telah
melahirkan sematan baru bagi Rohingya yaitu "etnis paling tertindas di
muka bumi" Penindasan terhadap Rohingya diberitakan memang memuncak pada
tahun 2012, melalui isu propanda pemerkosaan gadis Rakhine (Buddist) oleh 3
orang Rohingya.
Namun demikian, penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya
sejatinya sudah terjadi jauh sebelum tahun 2012 dan bahkan jauh sebelum Myanmar
merdeka pada tahun 1948. Sebagaimana penuturan Heri Aryanto, Koordinator
Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center, bahwa sejak penaklukan Kerajaan Islam
Arakan oleh Kerajaan Burma, penguasa saat itu (Kerajaan Burma-red) mulai
melakukan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas, termasuk di antaranya
Rohingya.
Secara historis, lanjut Heri, wilayah Arakan dahulunya merupakan
bagian jajahan British India, dan ketika Myanmar merdeka, wilayah ini kemudian
diakui sebagai negara bagian Myanmar (Rakhine State). Namun sayangnya, meskipun
tanahnya diakui, tetapi Rohingya tidak diakui sebagai bagian etnis bangsa
Myanmar.
"Diskriminasi terhadap Rohingya, makin nyata terlihat ketika
Persiapan Kemerdekaan Myanmar, dimana tidak ada satu pun perwakilan Rohingya
yang diundang dalam proses penandatanganan Perjanjian Penyatuan Myanmar (Burma)
pada tanggal 12 September 1947 di negara bagian Shan, antara Jenderal Aung San
dengan perwakilan berbagai etnis di Myanmar," ujarnya.
Penindasan dan diskriminasi terhadap Rohingya berlanjut di era
pemerintahan Juncta Militer (1962-2010). Tidak hanya operasi-operasi militer
yang dilakukan untuk mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan, tetapi juga
melalui perangkat hukum UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang dibentuk
untuk tujuan menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya di Myanmar.
UU Kewarganegaraan Myanmar menetapkan 3 kategori warga negara, dan
dari 3 kategori tersebut, tidak satupun kategori yang bisa diterapkan terhadap
Rohingya.
Itu artinya, Rohingya
bukan warga negara Myanmar, sehingga sejak tahun 1982 Rohingya tidak berhak
memperoleh KTP maupun Paspor Myanmar.
“Rohingya tidak diakui sebagai bagian bangsa Myanmar karena secara
fisik mereka berbeda, mereka seperti orang Bangladesh” tegas Heri, aktivis yang
pernah terjun langsung ke Arakan pada Tahun 2013 silam.
Bukan hanya berbeda secara fisik, Rohingya juga dianggap bukan
bagian warga negara Myanmar karena menurut Penduduk Mayoritas dan Pemerintah,
Rohingya belum ada di Arakan sebelum tahun 1823. Itu artinya, Rohingya tidak
dapat dikategorikan sebagai Warga Negara Myanmar menurut UU Kewarganegaraan
1982.
“Itu alasan yang diada-adakan saja, menurut catatan sejarah
Rohingya sudah ada di sana (Arakan-red) sejak Abab 7 Masehi, pada masa Dinasti
Abbasiyah, Khalifah Harun Ar Rasyid”, imbuhnya.
Menilik fakta-fakta tersebut, maka permasalahan Rohingya yang
menjadi perhatian utama dan mendesak untuk segera diselesaikan menurut Heri
adalah perihal “hak kewarganegaraan penuh” Rohingya sebagaimana isi Resolusi
PBB yang disampaikan oleh Sekjen PBB Ban Ki Moon.
Hak Kewarganegaraan
adalah hak asasi yang dijamin dan dilindungi hukum internasional.
Bahkan di dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Deklarasi Universal HAM
1948 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan dan
tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau
ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.
Dengan diberikannya hak kewarganegaraan penuh kepada Rohingya dan
pengakuan Rohingya sebagai bagian bangsa Myanmar, akan mempercepat penyelesaian
permasalahan Rohingya. “Selama akar masalah di Myanmar belum terselesaikan,
maka Rohingya akan terus menjadi manusia perahu”, pungkasnya. (HA)
See more at: http://www.voa-islam.com/read/pers-rilis/2015/05/18/37038/akar-masalah-rohingya-ada-di-myanmar/#sthash.k5m7NpJi.dpuf
Yang
menjadi permasalahan yakni beberapa Negara tidak mau menerima warga Negara ini.
ada beberapa Negara berpendapat bahwa ini akan menjadi beban bagi negaranya
atau seperti Negara Bangladesh bahwa itu masalah pribadi Nyanmar bukan masalah
bangladesh atau alasan-alasan lain yang dalam benak saya tidak sepatutnya
bersikap demikian. Dan kita ketahui bersama bahwa setiap Negara tahu bahwa ada hukum internasional
yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dimana Negara-negara yang selalu
meneriakan akan HAM? Begitu banyak nyawa yang terenggut namun tidak ada satupun
yang mau peduli.
Alhamdulillah,
setidaknya bangsa Indonesia masih ada yang peduli akan hal ini walaupun hanya
segelintir orang yakni Aceh yang menjadi pionir untuk bangsa Indonesia. Ucapku
terima kasih untuk kalian semua
Hari ini kita
bangsa Indonesia yang hidup di ladang subur makmur itu, dimana kehidupan amat
menyenangkan, masih enak untuk makan, masih mudah mencari minum, masih leluasa
beribadah di mesjid dan surau-surau nya. Kita tidak diuji dengan kesabaran
ekstra, tapi kita diuji dengan kehadiran para muhajirin yang tersiksa di negeri
mereka. Ada yang pernah membayangkan nda? Gimana kalau kasus ini terjadi
dibangsa kita sendiri yakni Indonesia.
Ada sebuah
kutipan bahwa Etnis-etnis muslim yang minoritas di asia dan afrika ketika
disebut indonesia mereka membayangkan "Syurga beragama dan beribadah"
Dari kutipan di atas mengingat kembali pidato Bapak Anis Mata bahwa suatu hari nanti bangsa Indonesia akan di
kenal sebagai Syurganya Dunia. Semoga demikian. Aamiin
~ooO Safaruddin
Iyando Ooo~