Bedah Film Everest


Kemarin saya dan teman-teman menyempatkan diri untuk menyaksikan film terbaru yakni Everets. sejak 2 minggu yang lalu Film ini telah ditayangkan di bioskop-bioskop. Untuk saya pribadi, film ini cukup menarik yang sayang jika tidak dinonton. Semua film yang menceritakan tentang petualangan, expedisi dan jejak alam lainnya menjadi hal yang tak pantas untuk dilewati begitu saja.
Film yang berdurasi 2 jam ini memberikan banyak informasi serta pesan-pesan bijak yang bisa dijadikan referensi bagi kita ke depan. Untuk itu saya membaginya menjadi empat bagian yakni:
a.       Keindahan Alamnya
Keindahan alam yang ditampilkan dalam film ini begitu menajubkan sehingga ada keinginan untuk bisa menginjakkan kaki ke sana. Hamparan salju serta tebing-tebing tinggi menjadi salah satu pemandangan yang luar biasa sehingga wajar tempat-tempat seperti mesti dilestarikan serta dijaga kebersihan apalagi telah dikenal sebagai tempat wisata. Sekilas ada adekan Robb Hall memungut sampah. Ini menunjukan bahwa Robb begitu cinta akan tempat ini.

b.       Pendakian
Begitu ramainya kondisi basecamp di Everest seperti menggambarkan keadaan pendakian gunung sekarang. Semua hanya ingin mencapai puncak untuk menunjukan kehebatan masing-masing. Pendakian Everest yang betul-betul memerlukan persiapan matang dan latihan berminggu-minggupun belum tentu tanpa bencana. Seperti kata Anatoli Boukreev “Manusia selalu mencoba bersaing dengan gunung dan gununglah yang selalu menjadi pemenang”. Satu kesalahan kecil saja seperti hanya lupa mengisi penuh oksigen dapat menjadi bencana besar dalam pendakian apalagi yang mendaki asal-asalan bukan?
Adegan dilematis seorang Rob Hall yang menuntun Doug Hansen yang terlambat menuju puncak yang walaupun secara nalar ia sadar bahwa itu adalah hal berbahaya baginya menunjukan bahwa ego manusia adalah hal yang harus dilawan saat mendaki pegunungan. Doug terlalu mementingkan puncak daripada keselamatan dirinya sendiri, sementara Rob yang memang menunjukan kesolidaritas sebuah persahabatan celakanya harus turut menjadi korban keganasan badai gunung Everest, adegan yang membuat penonton menahan nafas karena hal baik yang dilakukan Rob menjadi sia-sia
Hal ini Memberi pelajaran kepada kita bahwa pengambilan keputusan yang benar dan tepat terutama untuk survival adalah hal yang sangat penting. Terlalu memaksa dan terlalu yakin soal kemampuan kita mendaki tak akan menjadi jaminan keselamatan dan keberhasilan. Scott Fischer menjadi korban keterlaluyakinan dia untuk menaklukan Everest sesuai waktu dan kondisi yang ditentukan. Kematian pendaki menjadi gambaran, sehebat dan sesiap apapun kita gunung adalah tempat penuh misteri yang bisa merenggut nyawa kita kapan saja.
c.       Bisnis
Film ini juga menceritakan tentang  orang-orang kaya dari berbagai belahan dunia yang memiliki obsesi untuk menjejakkan kaki di titik tertinggi di dunia itu. Pendaki-pendaki kaya yang ke Everest akhirnya menjadi sebuah fenomena dan peluang bisnis yang menggiurkan. Tak pelak, ratusan bahkan ribuan Travel Agent dan Climbing Provider baik di Nepal maupun di seluruh belahan dunia bermunculan.  Target mereka adalah orang-orang kaya yang memiliki obsesi menjelajahi tempat yang di klaim sebagai “The Most Dangerous Place in the World”. Sesuatu yang awalnya hanya menjadi obsesi bagi seseorang kemudian berubah menjadi sebuah ambisi, dalam hal ini ambisi bisnis yang tak luput dari persaingan dan tentunya kontroversi.
Mereka tak segan-segan merogoh kantong dan mengeluarkan uang sebesar USD 65,000 (setara dengan  Rp.910 Juta saat ini) demi memenuhi obsesi mereka. Beberapa diantara mereka telah beberapa kali mendaki Everest namun belum berhasil mencapai puncak. Sekedar tambahan bahwa meski seseorang yang telah membayar sejumlah uang dengan angka yang fantastis itu namun belum jaminan dia bisa menjejakkan kaki di puncak Everest.  Faktor Alam, fisik, skill dan tentunya keberuntungan turut berperan.
Ini juga menjadi pelajaran bagi saya di mana saat ini saya aktif di lembaga Jelindo (Jelajah Indonesia ) yang melayani jasa pendakian atau wisata alam. Tak tanggung-tanggung kami pernah melayani guide pendakian atau wisata alam dengan peserta sekitar 30-50an orang.  Hal ini menjadi evaluasi untuk saya dan Jelindo untuk mempertimbangkan dalam melayani pendakian atau wisata alam. Keselamatan crew dan clien menjadi prioritas utama. Begitu pula untuk teman-teman yang berkecimpung dalam bisnis seperti ini mesti mempertimbangkan matang-matang dalam melakukan pendakian atau wisata alam.
d.       Keluarga
Film ini juga menyajikan  unsur ‘human touch’-nya dalam hal ini keluarga. Tak heran jika porsi ‘drama’ antara Rob Hall, warga negara New Zealand yang menjadi Kepala Guide sekaligus pemilik Adventure Consultants Guided Expedition, dengan istrinya yang sedang menantikan kelahiran putri pertamanya digunakan untuk ‘mempermainkan’ emosi penonton.  Adegan saat Hall berbicara dengan istrinya lewat telepon di detik-detik terakhir sebelum meninggal menjadi puncak Film Everest ini. Ditambahkan pula dengan adegan Dr.Seaborn Beck Weathers saat berjuang untuk bangkit dari ‘kematian’ karena melihat anak dan istrinya memanggil ikut pula mendapatkan porsi ‘drama’ dalam film ini.  Sebuah kalimat bijak yang bisa saya ambil dari unsur ini bahwa motivator terbaik yakni bersumber dari kelurga terutama istri dan anak-anak. Olehnya itu ada baiknya, ketika berpergian yakni meminta izin kepada kelurga. Jangan dianggap remeh karena doa dan motivasi mereka bisa membuat kita kuat dan mengingatkan kepada kita bahwa pulang dengan selamat merupakan tujuan dari sebuah perjalanan.
Notes :
ü  Pimpinan yang kita sudah percayakan mesti kita ikuti
ü  SOP dalam pendakian mesti diikuti
ü  Kerja sama team memang diperlukan, selain meringankan beban juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
ü  Masalah pada dasarnya bukan pada ketinggian melainkan pada sikap kita
ü  Semakin tinggi kau mendaki maka semakin kecil kau dihadapan Tuhan
ü  Manusia tiada artinya dihadapan Sang Pelimilik Alam
ooO safaruddin iyando Ooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar