GANESA BATUBARA
3.1 FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK BATUBARA
Menurut L.E. Schlatter’s (1973)
menyebutkan bahwa pembentukan batubara merupakan proses yang kompleks yang
harus dipelajari dari banyak segi, karena ada bermacam-macam proses yang berbeda
satu dengan lainnya yang mempengaruhi pembentukan batubara, baik derajat maupun
jenis batubaranya pada suatu cekungan (Gb. 3.1).
3.1.1 Posisi
geotektonik (geotectonic position)
Di
dalam genesa cekungan batubara, posisi geotektonik merupakan faktor yang umum,
dominan, dan memegang peranan penting. Posisi geotektonik mempengaruhi iklim,
morfologi cekungan, kecepatan sedimentasi, kecepatan penurunan dasar cekungan,
jenis flora, dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jenis batubara (coal
type), derajat batubara (coal rank), dan geometri lapisan batubara yang
terbentuk (Gambar 3.2).
Pada
daerah bertektonik kuat, penurunan cekungan akan berjalan cepat selama pengendapan
berlangsung. Akibatnya akan berpengaruh terhadap perbedaan petrografi dan
geometri lapisan batubara serta menambah kontaminasi mineral, seperti sulfida,
klorit, dan karbonat.
Cekungan
batubara dapat terbentuk diberbagai posisi dari suatu tatanan tektonik (lihat
cekungan batubara, R.P. Koesoemadinata, Bab 2). Batubara di Sumatera Selatan
terjadi di cekungan belakang busur pada lingkungan yang sebagian besar berair
payau, sedangkan batubara Ombilin terjadi di cekungan intra-montane pada
lingkungan air tawar. Batubara di Bengkulu terjadi cekungan muka busur pada
lingkungan delta. Batubara di Kalimantan Timur pada delta yang progradasi, seperti di Delta
Mahakam.
3.1.2 Topografi purba (paleotopografi)
Morfologi cekungan mempunyai arti penting
di dalam menentukan penyebaran rawa-rawa tempat batubara terbentuk. Pada daerah
pantai datar dan tidak berbukit merupakan lingkungan yang baik untuk
pembentukan batubara, demikian juga di daerah cekungan benua, tetapi jumlahnya
terbatas. Pada dataran stabil, erosi akan mempengaruhi ukuran dan bentuk
lakustrin, asal dan luas pengaliran, aliran air, dan permukaan airtanah.
Faktor-faktor tersebut mempengaruhi pembentukan batubara.
3.1.3 Posisi
geografi (geographical position)
Posisi
geografi berpengaruh terhadap iklim, khususnya temperatur. Pada daerah tropik
dan subtropik, tumbuhan dapat tumbuh subur dibanding pada daerah sedang,
sedangkan di daerah kutub tidak baik bagi pertumbuhan tumbuhan. Pembentukan
batubara yang baik pada rawa-rawa paralik yang tingginya sama dengan permukaan
air laut.
Menurut
Teichimuller (dalam Stach, 1975), lingkungan pembentukan endapan gambut
dipengaruhi oleh:
1.
Kenaikan
muka airtanah lambat atau penurunan dasar cekungan lambat, sehingga endapan
gambut terhindar dari abrasi air laut.
2.
Adanya
beting pantai, gosong pasir, atau tanggul alam yang menghalangi rawa-rawa dari
abrasi air laut, sehingga dapat mempertahankan endapan gambut dari banjir
sungai dan abrasi laut.
3.
Relief
daratan yang rendah, sehingga pengendapan material fluviatil berbutir halus
akan menutupi endapan gambut yang terbentuk terlebih dahulu.
Berdasarkan posisi geografinya, terjadinya endapan
batubara dapat di lingkungan daratan (limnic) dan pantai laut (paralic). Pada
prinsipnya pembentukan endapan gambut memerlukan kondisi pemukaan airtanah yang
konstan sepanjang tahun, sehingga endapan organik dari tumbuhan yang mati
segera terdekomposisi. Kondisi demikian tergantung posisi geografinya, di
samping iklim dan biasanya dijumpai di daerah tepi pantai dimana air laut
membendung air yang datang dari daratan. Juga pada rawa-rawa dekat pantai.
Untuk gambut di daratan dapat pada garis tepi danau atau rawa yang besar.
3.1.4 Iklim
(climate)
Gambut berasal dari tumbuhan, sedangkan
perkembangan tumbuhan dipengaruhi oleh iklim, lebih khusus lagi adalah
kelembaban. Pada daerah beriklim tropik dan subtropik yang bertemperatur
tinggi, umumnya sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan dibandingkan daerah beriklim
dingin. Di samping itu, suhu yang lebih panas tidak hanya mempercepat
pertumbuhan tumbuhan, tetapi juga mempercepat pembusukan.
Hasil
penelitian menyebutkan bahwa hutan rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan
setiap 7-9 tahun dan tumbuhan mencapai tinggi sekitar 30 m, sementara di iklim
dingin atau sedang untuk waktu yang sama pertumbuhannya hanya mencapai
ketinggian 5-6 m. Daerah iklim sedang miskin bahan makanan, sehingga didominasi
oleh lumut, sedangkan daerah tropik didominasi pohon.
Pada
Karbon Akhir atau Tersier Awal, umumnya gambut terbentuk di iklim tropis dan
basah. Meskipun demikian, di belahan bumi selatan dan Siberia dijumpai batubara
yang terbentuk di iklim sedang dan basah, bahkan di iklim dingin seperti
batubara Gondwana (Permo-Karbon) dengan tumbuhan utama Gangamopteris,
Glossopteris, Cycadophyta, dan Conifers.
Lapisan
batubara yang terbentuk di lingkungan iklim tropis basah umumnya tebal dan
cemerlang (bright coal), sebaliknya di iklim sedang atau dingin terdiri dari
sedikit batubara cemerlang. Meskipun demikian, selama pembentukan batubara
tidak selalu iklimnya tetap, seperti di belahan bumi selatan terdapat batubara
tebal diselingi lapisan yang tidak mengandung batubara. Kondisi ini ditafsirkan
sebagai masa yang kering dengan ciri sedimen berkadar garam tinggi dan
diperkirakan suhunya lebih dingin dibanding suhu sekarang.
3.1.5 Tumbuhan
(flora)
Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient bagi bakteri penyebab pembusukan.
Tumbuhan merupakan unsur utama pembentuk batubara. Protoplasma adalah sel pengisi tumbuhan hidup yang merupakan zat koloidal yang sebagian besar terdiri dari air dan albumin kompleks atau campuran unsur C, H, O, N, S, dan P. Albumin hampir tidak memiliki daya tahan terhadap pembusukan, fungsinya sebagai zat makan atau nutrient bagi bakteri penyebab pembusukan.
Selaput
sel terutama terdiri dari cellulose, merupakan karbohidrat yang tahan
terhadap perubahan kimiawi, tetapi dapat dengan mudah ditelan oleh
mikro-organisme. Di alam, cellulose bersama-sama dengan sederet unsur lain
seperti hemicellulose, pectins, lemak, dan lignin. Tiga yang pertama tidak
memiliki daya tahan terhadap pembusukan, sehingga kurang penting dalam
pembentukan batubara. Lignin diperlukan dalam perubahan bentuk tumbuhan, selalu
terjalin secara submikroskopis dengan cellulose dan merupakan bahan dasar
jaringan kayu, walau terdapat pula dalam daun. Resin dan lilin juga dihasilkan
oleh tumbuhan, biasanya termasuk hidrokarbon polimer tinggi dengan oksigen dan
belerang dalam jumlah kecil. Keduanya sangat tahan terhadap pembusukan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tumbuhan.
Pemunculan tumbuhan tidak terlepas dari evolusi kehidupan yang menghasilkan kondisi berbeda selama masa sejarah geologi. Mulai Paleozoik-Devonian, tumbuhan tidak tumbuh dengan baik. Setelah Devon pertama kali terbentuk lapisan batubara di daerah lagunal yang dangkal. Periode ini merupakan titik awal dari pertumbuhan tumbuhan secara besar-besaran dalam kurun waktu yang singkat pada setiap kontinen. Hutan tumbuh dengan subur selama Karbon, pada Tersier merupakan perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tumbuhan.
3.1.6 Pembusukan (decomposition)
Pembusukan tumbuhan adalah proses
peruraian unsur yang merupakan bagian transformasi biokimia dari bahan organik
tumbuhan. Setelah tumbuhan mati, maka yang berperan adalah proses degradasi
biokimia. Prosesnya adalah pembusukan oleh kerja bakteri dan jamur, terutama di
daerah yang bertemperatur hangat dan lembab daripada di daerah kering dan
bertemperatur dingin. Bakteri bekerja pada lingkungan tanpa oksigen, mula-mula
menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti cellulose, protoplasma,
dan pati. Dalam suasana kekurangan oksigen akan berakibat keluarnya air dan
sebagian unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metan.
Akibat pelepasan unsur atau senyawa tersebut, maka jumlah relatif unsur karbon
akan bertambah. Dari proses ini akan terjadi perubahan dari kayu menjadi
gambut.
Kecepatan
pembentukan gambut bergantung pada kecepatan pertumbuhan tumbuhan dan proses
pembusukan. Bila tumbuhan yang mati tertutup oleh air dengan cepat, maka akan
terjadi proses penguraian oleh bakteri. Sebaliknya apabila tumbuhan yang telah
mati terlalu lama berada di udara terbuka, maka kecepatan pembentukan gambut
akan berkurang, karena hanya bagian yang keras saja yang tertinggal, sehingga
menyulitkan penguraian oleh bakteri.
Pembusukan
umumnya berjalan lebih cepat pada kondisi lingkungan yang selalu berganti,
yaitu dari reduksi ke oksidasi dan seterusnya. Kadar pembusukan akan
berpengaruh terhadap batubara yang akan terbentuk.
3.1.7 Penurunan
dasar cekungan (subsidence)
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
Penurunan cekungan merupakan hal penting, yaitu jika penurunan dan akumulasi tumbuhan berjalan seimbang, maka akan menghasilkan endapan batubara tebal. Pergantian transgresi dan regresi juga akan mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan dan pengendapannya, juga menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineral yang akan mempengaruhi komposisi batubara.
Kecepatan penurunan yang lebh cepat dari kecepatan akumulasi tumbuhan akan mengakibatkan air menggenangi rawa-rawa dan hutan sekelilingnya, sehingga kehidupan tumbuhan terganggu. Jika penurunan lebih lambat dari kecepatan akumulasi tumbuhan, maka akan menyebabkan akumulasi tumbuhan di permukaan. Akibatnya permukaan airtanah akan turun dan tumbuhan membusuk oleh udara.
3.1.8 Waktu
geologi (geological age)
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu geologi menentukan berkembangnya beragam tumbuhan, misal pada jaman Karbon dijumpai endapan batubara yang melimpah karena pada jaman tersebut perkembangan tumbuhan mencapai puncaknya.
Waktu
geologi juga dapat meningkatkan derajat batubara, karena makin tua umur endapan
batubara, maka besar kemungkinannya tertimbun lebih dalam dan lebih tebal oleh
endapan sedimen dibandingkan yang berumur muda. Meskipun demikian, pada
batubara yang lebih tua selalu ada risiko mengalami deformasi tektonik dan
pengaruh erosi, sehingga dapat mengganggu atau mengurangi endapan batubara yang
ada.
Perkecualian
dapat terjadi, sekalipun endapan batubara berumur tua, belum tentu akan
tertimbun oleh sedimen yang lebih tebal atau mempunyai peringkat yang lebih
tinggi. Bahkan adanya terobosan batuan beku dapat membuat endapan batubara muda
mencapai peringkat yang tinggi, misalnya endapan semi antrasit yang berumur
Mio-Pliosen di Suban, Tanjung Enim dan berumur Miosen Tengah di Bukit Sunur,
Bengkulu.
3.1.9 Sejarah
setelah pengendapan (post-depositional history)
Sejarah cekungan batubara sangat tergantung pada
posisi geotektoniknya, karena posisi geotektonik mempengaruhi perkembangan
cekungan batubara dan berpengaruh pada tebalnya lapisan penutup yang pada
akhirnya menentukan proses kecepatan metamorfose organik dan bertanggungjawab
terhadap struktur cekungan batubara, lipatan, sesar, atau terobosan batuan
beku. Secara singkat dapat berpengaruh terhadap aspek geometri lapisan batubara
dan kualitas batubara.
3.1.10 Metamorfosa
organik (organic metamorphism)
Perubahan
fisik dan kimia dari organisme secara berangsur menjadi bentuk lain yang
susunannya lebih kompleks, umumnya pada kondisi tanpa oksigen. Prosesnya dibagi
menjadi dua tahap, yaitu perubahan biokimia dan perubahan geokimia.
Proses
biokimia yaitu perubahan dari tumbuhan mati menjadi gambut dan proses geokimia
yaitu perubahan dari gambut menjadi batubara. Pada proses geokimia, kenaikan
suhu memegang peranan penting, yaitu berkurangnya unsur hidrogen dan oksigen
yang diikuti oleh meningkatnya unsur karbon, sehingga derajat batubara makin
meningkat. Kenaikan suhu ini terutama disebabkan oleh tebalnya batuan yang
menindihnya atau adanya terobosan magma batuan beku.
Metamorfosa
organik dipengaruhi oleh proses yang bekerja setelah pengendapan, secara tidak
langsung juga dipengaruhi oleh posisi geotektonik, kecepatan penurunan
cekungan, dan waktu geologi.
3.2 PEMBATUBARAAN
Secara umum telah diterima bahwa batubara
berasal dari tumbuhan yang karena proses-proses geologi, maka terbentuklah
endapan batubara yang kita lihat sekarang. Pembentukan tumbuhan mati menjadi
gambut dan batubara melalui dua tahap, yaitu tahap diagenesa gambut
(peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification).
3.2.1 Tahap biokimia/diagenesa gambut
(peatification)
Tahap diagenesa gambut merupakan tahap awal pembentukan
batubara, yaitu mencakup perubahan oleh mikroba dan proses kimia. Dimulai dari
pembusukan tumbuhan sampai terbentuk gambut (peat). Pada tahap ini dicirikan
oleh aktivitas bakteri aerob (membutuhkan oksigen) dan anaerob (tidak
membutuhkan oksigen).
Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, maka
dapat terjadi proses biokimia yang secara vertikal dapat dibagi menjadi dua
zone, yaitu zone permukaan yang umumnya perubahan berlangsung dengan bantuan
oksigen dan zone tengah sampai kedalaman 0,5 m yang disebut dengan peatigenic
layer (Teichmuller, 1982). Pada zone peatigenic terdapat bakteri
aerob, lumut, dan actinomyces yang aktif. Bakteri aerob akan menyebabkan
oksidasi biologi pada komponen-komponen tumbuhan yang material utamanya adalah cellulose.
Senyawa-senyawa protein dan gula cenderung terhidrolisa. Cellulose akan diubah
menjadi glikose dengan cara hidrolisis:
C6H10O5 + H2O --> C6H12O6
(cellulose) (glikose)
Jika suplai oksigen berlangsung terus,
maka proses ini akan menuju pada penguraian lengkap dari senyawa organik,
yaitu:
C6H10O5 + 6 O2 --> 6 CO2 + 5 H2O
Bagian-bagian dari material tumbuhan
tersebut cenderung membentuk koloid dan umumnya disebut dengan asam humus
(humic acid). Lemak dan material resin umumnya hanya mengalami perubahan
sedikit.
Apabila kandungan oksigen air rawa sangat
rendah dan dengan bertambahnya kedalaman, sehingga tidak memungkinkan
bakteri-bakteri aerob hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses
pembusukan dan penghancuran yang sempurna, dengan kata lain tidak terjadi
proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri-bakteri
anaerob saja yang berfungsi melakukan proses pembusukan yang kemudian membentuk
gambut (peat).
Prosesnya adalah dengan bertambahnya
kedalaman, maka bakteri aerob akan berkurang (mati) dan diganti dengan bakteri
anaerob sampai kedalaman 10 m, dimana kehidupan bakteri makin berkurang dan
hanya terjadi perubahan kimia, terutama kondensasi primer, polymerisasi, dan
reaksi reduksi. Pada bakteri anaerob akan mengkonsumsi oksigen dari substansi
organik dan mengubahnya menjadi produk bituminous yang kaya hidrogen,
selanjutnya dengan tidak tersedianya oksigen, maka hidrogen dan karbon akan
menjadi H2O, CH4,
CO, dan CO2.
Apabila ditinjau secara vertikal, maka
lapisan gambut paling atas mempunyai pertambahan kandungan karbon relatif cepat
sesuai kedalamannya sampai peatigenic layer, yakni 45-50% sampai 55-60%.
Lebih dalam lagi, pertambahan kandungan karbon mencapai 64%. Kandungan karbon
yang tinggi pada peatigenic layer disebabkan karena pada lapisan tersebut kaya
substansi yang mengandung oksigen, terutama cellulose dan humicellulose yang
diubah secara mikrobiologi.
Dari keseluruhan proses, maka pembentukan
substansi humus merupakan proses penting yang tidak tergantung pada fasies dan
tidak semata-mata pada kedalaman. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi
proses humifikasi dimana bakteri dapat beraktivitas dengan baik adalah kondisi
lingkungan berikut ini:
1.
Keasaman
air, yaitu pada pH 7,0-7,5.
2.
Kedalaman,
yaitu pada kedalaman sekitar 0,5 m untuk bakteri aerob, sedangkan untuk bakteri
anaerob bisa sampai kedalaman 10 m.
3.
Suplai
oksigen, akan menurun mengikuti kedalaman.
4.
Temperatur
lingkungan, pada suhu yang hangat akan mendukung kehidupan bakteri.
Potonie (1920 dalam Teichmuller, 1982 dan
Diessel, 1984) menyebutkan bahwa pada rumpun tumbuhan yang sama, iklim dan
kondisi lingkungan yang sama, maka potensial redox (Eh) memegang peranan
penting untuk aktifitas bakteri dan penggambutan. Ketersediaan oksigen
menentukan apakah proses penggambutan berjalan atau tidak. Berikut ini
transformasi organik dalam kaitannya dengan ketersediaan oksigen (Tabel 3.1),
dimana salah satu dari empat proses biokimia di bawah ini akan terjadi pada
tumbuhan yang telah mati, yaitu:
1.Bahan tumbuhan bereaksi dengan oksigen dan merapuh
(desintegration), menghasilkan zat terbang, terutama CO2, metan, dan
air. Umumnya menghasilkan sisa yang tidak padat. Beberapa unsur utama tumbuhan
akan lebih tahan pada tipe ubahan ini, misal resin dan lilin.
2. Proses humifikasi atau pembusukan, yaitu bahan
tumbuhan akan berubah menjadi humus akibat oleh terbatasnya oksigen dari
atmosfir dan tingginya kandungan air lembab. Batubara yang dihasilkan berupa
humic coal.
3. Proses penggambutan (peatification), yaitu keadaan
muka air tinggi di atas lapisan yang terakmulasi dapat mencegah terjadinya
oksidasi, akibatnya pada lingkungan yang reduksi dan adanya bakteri anaerob,
jaringan-jaringan tumbuhan menjadi hancur, kemudian terakumulasi dan menjadi
gambut, selanjutnya akan menghasilkan humic coal.
4.Putrefaction (permentasi) yaitu peruraian hancuran
tanaman akuatik (terutama algae), bahan hanyutan, dan plankton dalam lingkungan
reduksi pada kondisi air diam (stagnant), hasilnya membentuk sapropel,
sedangkan batubara yang dihasilkan adalah batubara sapropelik.
Secara
umum tahapan biokimia dapat dikelompokan menjadi dua jenis (Diessel, 1992),
yaitu:
1. Vitrinisasi
(vitrinisation path)
Hasil
humifikasi pada dekomposisi hidrolik terhadap tumbuhan yang telah mati akan
mengalami suatu deret kestabilan dari kandungan sel-sel yang lunak menjadi
celulose, hemicelulose, dan beberapa komponen yang lebih tahan seperti lignin
(Waksman dan Stevens, 1929). Fluida humik akan berubah sepanjang tahapan
humifikasi. Kompaksi dan dehidrasi gambut akibat penambahan beban oleh lapisan
penutup mengakibatkan fluida humik mengental. Dalam batubara muda fluida humik
muncul sebagai humocollinit (jika berupa koloid) dan humodetrinit (jika
bercampur dengan fragmen-fragmen sisa sel). Koloid humik dapat mengisi
ruang-ruang sel jaringan tumbuhan dan setelah pembatubaraan pada tingkat
batubara bitumen akan muncul sebagai gelocollinit. Setelah presipitasi, koloid
humik dapat berupa granular (sebagai porigelinit) dan kemudian lumer (gelify)
berbentuk larutan atau zat yang jernih (sebagai eugellinit).
2. Fusinitisasi
(fusinitisation path)
Pada lapisan batubara juga ditemukan maseral-maseral inertinit yang mempunyai kandungan karbon tinggi, artinya menunjukan bahwa bahan-bahan tumbuhan ini sebelum sedimentasi berakhir telah mengalami dehidrasi pada suatu periode kering dan oksidasi yang intensif (fusinitisasi). Ada tiga model proses fusinitisasi, yaitu:
Pada lapisan batubara juga ditemukan maseral-maseral inertinit yang mempunyai kandungan karbon tinggi, artinya menunjukan bahwa bahan-bahan tumbuhan ini sebelum sedimentasi berakhir telah mengalami dehidrasi pada suatu periode kering dan oksidasi yang intensif (fusinitisasi). Ada tiga model proses fusinitisasi, yaitu:
--> Pengawetan
akibat pengeringan dinding sel dan dehidrasi pada koloid koloid humik yang
kemudian terubah sehingga tidak dapat mengalami rehidrasi dan melanjutkan
hidrolisa. Hasilnya disebut oxi-semifusinite yang memperlihatkan efek
humifikasi akibat mikroba dengan baik.
--> Pembentukan semifusinit sebagai akibat dekomposisi
selektif oleh
organisme terhadap jaringan kayu, terutama jaringan yang lunak (degrado
semifusinit).
--> Akibat
pembakaran pada gambut (pyrofusinite) yang tidak sempurna, maka akan
menyebabkan perbedaan reflektansi dari jaringan-jaringan sel tumbuhan dengan
berbedanya kedalaman.
Ciri
umum gambut adalah sebagai berikut:
1. Berwarna kecoklatan sampai hitam.
2. Kandungan air > 75% (pada brown coal < 75%)
3. Kandungan karbon umumnya < 60% (pada brown coal
> 60%).
4. Masih memperlihatkan struktur tumbuhan asal,
terdapat sellulose (pada brown coal cellulose tidak hadir).
5. Dapat dipotong dengan pisau (pada brown coal tidak
dapat dipotong).
6. Bersifat porous, bila diperas dengan tangan, keluar
airnya.
Berdasarkan ciri di atas adalah tidak mudah secara
pasti membedakan antara peat dan brown coal, apalagi proses
perubahannya berlangsung secara bertahap.
3.2.2. Tahap geokimia/pembatubaraan (coalification)
Menurut Stach (1972) tahap geokimia atau tahap pembatubaraan disebut sebagai
tahap fisika-kimia (physicochemical stage), yaitu tahap perubahan dari gambut
menjadi batubara secara bertingkat (brown coal, sub-bituminous coal, bituminous
coal, semi anthracite, anthracite, meta-anthracite) yang disebabkan oleh
peningkatan temperatur dan tekanan.
Prosesnya,
jika lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka
akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen tersebut, tekanan akan meningkat
dengan bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah akan
mengakibatkan peningkatan temperatur. Di samping itu, temperatur juga akan
meningkat dengan bertambahnya kedalaman yang disebut gradien geotermal.
Kenaikan temperatur dan tekanan juga disebabkan oleh aktivitas magma dan
aktivitas tektonik lainnya. Peningkatan tekanan dan temperatur pada lapisan
gambut akan mengkonversi gambut menjadi batubara dimana terjadi proses
pengurangan kandungan air, pelepasan gas-gas (H2O, CH4,
CO, dan CO2), peningkatan kepadatan dan kekerasan, serta peningkatan
kalor. Faktor tekanan dan temperatur serta waktu merupakan faktor-faktor yang
menentukan “kualitas” batubara.
Pada
tahap ini terjadi perubahan rombakan tumbuhan dari kondisi reduksi ke suatu
seri menerus dengan prosentase karbon makin meningkat dan prosentase oksigen
serta hidrogen makin berkurang. Juga sifat fisik maseral mulai terbentuk,
seperti kenaikan reflektansi maseral batubara seiring dengan naiknya derajat
proses kimia-fisika.
Perubahan-perubahan
fisika-kimia berlangsung secara bertahap, yaitu:
- Tahap pertama adalah pembentukan peat, proses berlangsung terus sampai membentuk endapan, di bawah kondisi asam menguapnya H2O, CH4, dan sedikit CO2 membentuk C65H4O30 yang dalam kondisi dry basis besarnya analisa pada ultimate adalah karbon 61,7%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 38,0%.
- Tahap kedua adalah tahap lignit kemudian meningkat ke bituminous tingkat rendah dengan susunan C79H55O141 yang pada kondisi dry basis adalah karbon 80,4%, hidrogen 0,3%, dan oksigen 19,1%.
- Tahap ketiga adalah peningkatan dari batubara bituminous tingkat rendah sampai tingkat medium dan kemudian sampai batubara bituminous tingkat tinggi. Pada tahap ini kandungan hidrogen tetap dan oksigen berkurang sampai satu atom oksigen tertinggal di molekul.
- Tahap keempat, kandungan hidrogen berkurang, sedangkan kandungan oksigen menurun lebih lambat dari tahapan sebelumnya. Hasil sampingan tahap tiga dan empat adalah CH4, CO2, dan sedikit H2O.
- Tahap kelima adalah proses pembentukan antrasit dimana kandungan oksigen tetap dan kandungan hidrogen menurun lebih cepat dari tahap-tahap sebelumnya.
Meningkatnya
tekanan dapat disebabkan oleh penambahan ketebalan lapisan penutup (lapisan
sedimen di atasnya) atau penurunan post-depositional. Akibat tekanan
yang tinggi, maka porositas pada gambut akan menurun dan sejalan dengan
terdekomposisinya senyawa OH grup akan mengakibatkan menurunnya kandungan air.
Di samping itu, grup senyawa yang lain (COOH, CH3, CO) akan
terpecah, sehingga terbentuk karbondioksida dan makin meningkatnya oksigen yang
hilang, maka kandungan karbon akan meningkat.
Derajat
batubara tergantung pada temperatur, yaitu dapat akibat terobosan batuan beku,
gradien geotermal, dan konduktifitas panas batuan. Contoh pada sedimen Tersier
di Upper Rhein Graben dengan gradien hidrotermal 7-80C/100 m,
menghasilkan batubara bituminous pada kedalaman 1500 m, sedangkan di daerah
dingin yang gradien hidrotermalnya 40C/100m dapat mencapai derajat
yang sama pada kedalaman 2600m.
Faktor
waktu menurut hasil penelitian pada gambut lepas setebal 10-12 ft akan
menghasilkan 1 ft gambut padat memmerlukan waktu sekitar 100 tahun. Dalam
proses dari gambut menjadi batubara terjadi pemampatan dan jika diambil contoh
kayu sebagai basis (100%) pembentukan gambut dan batubara, maka perbandingan
volume dalam % adalah:
- Gambut = 28 - 45%
- Lignite = 17 - 28%
- Bituminous coal = 10 - 17%
- Anthracite = 5-10%
Jika
diasumsikan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ft gambut
termampatkan adalah 100 tahun, maka dengan menggunakan persentasi di atas dapat
diasumsikan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi gambut hingga diperoleh
ketebalan batubara 1 ft, yaitu:
- Lignite = 160 tahun
- Bituminous = 260 tahun
- Anthracite = 490 tahun
Angka-angka
di atas hanya untuk menggambarkan bahwa laju akumulasi gambut dan batubara
sedemikian lambatnya, sementara kondisi di alam demikian banyak faktor yang
mempengaruhinya.
Pengaruh
waktu akan berarti bila diikuti temperatur yang tinggi, seperti contoh berikut
ini. Di Gulf Coast of Louisiana yang mengandung batubara Miosen Akhir, terbenam
pada kedalaman 5440 m selama 17 juta tahun dengan temperatur 1400C
menghasilkan high volatile bituminous (35-40% VM), sedangkan pada batubara
Karbon dengan kedalaman yang sama selama 270 juta tahun hanya mencapai low
volatile bituminous (14-16% VM). Contoh lain yang terkenal adalah lignit di
Moscow Basin yang berumur Karbon Bawah, tetapi sampai sekarang tidak pernah
menjadi batubara, karena temperaturnya tidak tercapai.
Selanjutnya, tercapainya derajat batubara juga dapat
tergantung pada gabungan temperatur dan waktu. Sebagai contoh, pada batubara
dengan kandungan zat terbang 19% dapat terbentuk pada kondisi:
1. 2000C selama
lebih dari 10 juta tahun
2. 1500C selama
lebih dari 50 juta tahun
3. 1000C selama
lebih dari 200 juta tahun
4. 50-600C tidak pernah terbentuk batubara
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka pada prinsipnya derajat batubara ditentukan oleh
faktor temperatur, tekanan, dan waktu, sehingga bisa disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mengendalikan adalah:
1. Derajat batubara sebelum
terganggu kegiatan intrusi atau struktur geologi.
2. Ukuran dan bentuk kegiatan intrusi atau struktur
geologi.
3. Jumlah dan asal tekanan.
4. Jarak batubara dari gangguan.
5. Suhu batubara dari gangguan
6. Lama gangguan berlangsung.
3.3. PEMBENTUKAN BATUBARA BERDASARKAN TEMPAT TERJADINYA
Berdasarkan
tempat terjadinya, maka pembentukan batubara dapat dibagi menjadi batubara yang
terbentuk secara in-situ dan batubara yang bahan pembentuknya sudah mengalami
transportasi (drift) atau disebut juga dengan autochthonous coals dan allochthonous
coals (Hacquebard & Donaldson, 1969 dalam Roy D. Merrit, 1986).
3.3.1 Autochthonous coals
Batubara
yang bahan-bahan pembentuknya berasal dari tumbuhan yang tumbang di tempat
tumbuhnya dan membentuk batubara di tempat itu juga.
Karakteristik
batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Hadirnya seat earths.
2. Ada struktur akar tumbuhan yang tegak terhadap
bidang perlapisan.
3. Ada pokok (tunggul) pohon yang tumbuh di tempat
itu.
4.Batubaranya relatif bersih,
kadar abunya relatif kecil, baik pada lapisan batubara maupun lapisan antar seam.
5. Umumnya berasosiasi dengan lingkungan rawa dengan
drainase buruk.
6. Sebarannya luas dan merata
di seluruh lapangan batubara.
7. Ketebalannya seragam (kurang bervariasi)cenderung
tipis dan berbentuk lentikuler.
8. Hadirnya batupasir kuarsa halus atau ganister.
9. Kontaknya tegas (tiba-tiba)
antara batubara dengan lapisan sedimen di atasnya.
10.Berasosiasi dengan lingkungan floating swamps,
low-lying swamps, dan raised swamps.
11. Maceral terawetkan secara baik dan hadir litotipe vitrain,
clarain, durain, dan fusain.
3.3.2. Allochthonous coals
Batubara
yang bahan pembentuknya (bagian-bagian dari tumbuhan) berasal dari tempat lain
dimana tumbuhan asal berada, kemudian tertransport, terendapkan, dan membentuk
batubara.
Karakteristik
batubaranya adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya seat earths.
2. Tidak dijumpainya struktur akar tumbuhan atau pokok
pohon yang tegak terhadap bidang perlapisan.
3. Ketebalan dan kualitas lebih bervariasi.
4. Berasosiasi dengan endapan delta.
5. Batubara yang berasosiasi dengan lingkungan marin.
6. Hadirnya coal balls pada batupasir lapisan
penutup.
7. Sebarannya tidak luas dan
tersebar pada beberapa tempat.
8. Kadar abunya relatif lebih tinggi, banyak
pengotornya.
9. Mengandung maceral yang resisten seperti liptinites
dan inertinites dengan mineral matter yang melimpah.
DAFTAR PUSTAKA
Alan C. Cook, 1997, Coal Geology and Coal
Properties, Keiraville Consultants, Australia.
Claus F.K. Diessel, 1992, Coal Bearing Depositional
Systems, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Roy D. Merrit, 1986, Coal Exploration, Mine
Planning, and Development, Noyes Publications, New Yersey, USA.
Shell Internationale Petroleum Maatschappij B.V.,
1976, Coal Exploration and Mining Manual, Part I, The Hague, Report Sc. 76.5.
Teichmuller M & Teichmuller R, 1982, Stach’s
textbook of Coal Petrology, Gebruder Borntraeger, Berlin, Stuttgart.
Permisi Pak, mau tanya apa Bpk punya buku2 atau file mengenai materi ganesa batubara tersebut? Tks.
BalasHapus